Pages

Mengenai Saya

Foto saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Menjadi guru adalah salah satu anugerah yang terindah bagi saya, Allah Yang Maha Kuasa memberi kesempatan diri saya untuk belajar dan berkarya. bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Asa ke depan tetap berkarya dan berkarya walau usia semakin senja. Mudah-mudahan Allah meridhoi.Amin

Slide

20/04/11

Nurlaili

Posted by Saptari Dharma Wijayanti on 17.16 0 komentar

Nurlaili

            “Tuh! lihat anak itu, besok dia masih bisa begitu tidak ya?” Tanya Pak Hono kepadaku sambil menunjuk Nurlaili yang sedang bergoyang dangdut.
“Memangnya kenapa pak?” tanyaku heran.
“Apa njenengan tidak tahu? Wong njenengan saja memberi nilai empat sebanyak dua mata pelajaran untuknya.” jawab pak Hono.
Apakah nilai lainnya bagus kan pak?”
”Ya sami mawon.” kata pak Hono sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, mungkin dia meresapi juga kata yang diucapkannya yang artinya sama saja.
            Ya sore itu merupakan hari ke-tiga sekolah kami berkemah di desa Karangsari, acara ini selalu diadakan setiap tahun menjelang kenaikan kelas. Tujuan kemah ini salah satunya adalah mempromosikan sekolah kami kepada masyarakat agar mereka mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah kami. Bagus juga acara kemah ini, selain untuk promosi, kami juga  dapat menjalin rasa kebersamaan di antara anak-anak, anak dengan guru, dan guru dengan guru. Untuk anak-anak kulihat mereka dapat bekerja sama dalam mendirikan tenda, mengambil air, pembagian tugas sehari-hari mulai dari masak, kegiatan lomba , jaga malam, sampai pada acara  pentas seni yang dilakukan pada malam terakhir. Juga di antara guru, saling menambah rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Terutama kalau malam hari, kami sengaja lembur jaga malam, untuk mengisi kegiatan malam hari aku dan temanku bermain kartu, nah saat pingsut aku pasti tertawa, karena jari kelingkingku yang kecil mungil bertemu dengan ibu jari temanku yang sangat besar. Juga saat temanku kalah, pasti ada bedak yang dioleskan ke wajahnya. Aku merasa sangat dimanja oleh teman-temanku saat berlangsung acara seperti ini. Aku merupakan guru perempuan paling muda, lajang lagi. Temanku bilang ketika aku pertama datang semua meragukan kemampuanku dalam mengajar, maklum tubuhku mungil, dengan tinggi badan 150 Cm dan berat badan 40 Kg, aku nampak kecil di antara teman-temanku yang rata-rata berbadan besar. Bahkan kakakku bilang aku tidak punya perut, katanya kempes sekali.   Di sekolahku jumlah guru hanya ada 13 orang. 9 putra dan 4 putri, sementara jumlah kelasnya hanya 10 kelas, mereka penuh kasih sayang, jadi wajar kalau aku merasakan semua orang menyayangiku.  Kalau teman perempuanku ada yang mau menengok ibunya di luar kota, aku selalu diajak. Atau sebaliknya, kalau anggota keluarganya semua menengok orang tuanya, dan temanku sendiri, aku  diminta menemaninya di rumah. Nah, ketika menemani di rumah itulah kadang aku diajak nonton film, dan makan-makan enak di luar. Akan tetapi ada juga tidak enaknya menjadi guru paling muda, pelajaran yang sulit dan baru, sering diberikan kepadaku. Seperti saat itu aku mengajar lima mata pelajaran, yaitu di kelas II keuangan aku mengajar Matematika, Akuntansi Biaya, dan Akuntansi Keuangan Lanjutan. Sementara di kelas II Ketatausahaan aku mengajar Bisnis Lanjutan dan  Tekhnologi perkantoran. 
”Kok ngalamun bu?” suara pak Hono mengagetkanku.
”Selain nilai mata pelajaran saya, nilai apa lagi yang merah untuk rapornya Nurlaili?” tanyaku mengalihkan pertanyaan pak Hono.
”Banyak bu, yang tidak merah nilai agama dan sejarah.”
”Oh, pantas saya susah sekali menjelaskan kepadanya pak!”
”Ya tentu saja , pelajaran yang bu Yanti ajar kan sulit semua untuk dia.”
”Sebetulnya kasihan ya pak.”
”Ya tidak bu, sikap dia juga sangat menjengkelkan, kepada guru  berani sekali  bu, coba lihat sekarang!” pak Hono memintaku melihat Nurlaili yang bergoyang seronok di antara teman-teman laki-laki yang mengrumuninya.
”Nilaiku sangat mematikan ya pak?”
”Tidak usah dipikir bu, besok saja saat rapat pleno kenaikan kelas, kita bahas bersama teman-teman yang lain.”
            Bagaimana aku tidak mikir? Aku ingat dari tiga mata pelajaran di kelasnya dia kuberi nilai 4 untuk akuntansi biaya, nilai 4 untuk matematika, dan nilai 5 untuk mata pelajaran akuntansi keuangan lanjutan.  padahal bobot akuntansi keuangan 7 jam pelajaran, akuntansi biaya 5 jam, dan matematika  4 jam pelajaran. Nilai rata-rata dihitung dengan cara mengalikan nilai dengan jumlah jam tersebut dibagi jumlah jam, sehingga nilaiku untuknya memberikan kontribusi yang sangat besar untuk membuat dia gagal naik kelas.
            Pulang dari kemah, keesokan harinya kami melakukan rapat pleno kenaikkan kelas, dan benar juga Nurlaili menjadi agenda pembicaraan dalam acara ini. Begitu wali kelas melaporkan nilainya, hampir semua mata pelajaran nilainya sangat kurang. Dapat disimpulkan nilai jelek bukan hanya dari aku saja. Saat itu penilaian hanya berdasarkan nilai dari hasil tes tertulis saja, yaitu ulangan harian, ulangan bulanan, dan ulangan semester. Mungkin hanya ada di sekolahku saja saat itu yang memberlakukan ulangan bulanan. Ulangan bulanan diberlakukan dengan tujuan utama untuk dapat menarik uang bulanan yang harus dibayar anak-anak, karena di sekolahku untuk dapat menutup semua biaya operaional pendidikan bertumpu pada uang yang masuk dari siswa. Selain itu tentu saja untuk mengevaluasi proses belajar mengajar selama sebulan. Untuk evaluasi di sekolah kami selalu rutin dilaksanakan setiap hari Sabtu usai kegiatan belajar mengajar. Kegiatan ini yang tidak pernah kudapatkan di lima sekolah lain tempat aku mengajar.
Aku bersyukur pernah mengajar di sekolah ini, kudapatkan kasih sayang, kekeluargaan yang kental, dan suasana demokratis ketika rapat kenaikan dan kelulusan kelas. Semua diserahkan kepada dewan guru, kepala sekolah hanya menengahi ketika terjadi proses argumentasi yang memanas. Seperti saat itu panas sekali suasananya.
”Tolong Nurlaili dinaikkan saja!” pinta pak Hadi memohon, padahal dia bukan wali kelasnya.
”Bagaimana pak Hono sebagai wali kelas?” tanya kepala sekolah.
”Ya kalau saya sebagai wali kelas ingin semua anak saya naik semua, tapi untuk Nurlaili ini sangat berat, apalagi jumlah kehadiran tatap mukanya sangat sedikit dia sering tidak masuk pak”
”Kalau menurut bu Yanti?” kepala sekolah mengagetkanku.
”Ya menurut saya nilai yang saya berikan untuknya sudah maksimal pak, kemampuan berhitungnya rendah sekali pak.” jawabku, aku ingin mempertahankan nilai yang sudah kuberikan kepadanya.
”Pak tolong dinaikkan, tetapi dia pindah dari sekolah kita pak.” pak Hadi memohon lagi.
”Bagaimana bapak ibu?” tanya kepala sekolah lagi.
”Ya jangan pak!” kata ibu Fani ngotot.
”Bagaimana Pak Bari?”
”Ya silahkan pak, kalau Nurlaili tidak naik itu juga sudah sepadan dengan upayanya selama ini, dan saya kira kegagalan saat ini bukan menjadi harga mati untuk kegagalan di masa yang akan datang, mudah-mudahan dengan kegagalan ini dia menyadari kekeliruannya. Tetapi saya juga berharap mari kita tingkatkan pelayanan kita kepada anak-anak. Kalau kita pantau kehadirannya secar rutin, pasti tidak mungkin jumlah absennya sebanyak itu. Juga saya sering melihat saat pelajaran ada guru yang meninggalkan kelas dan hanya duduk-duduk di ruang guru.” jawab pak Bari panjang lebar. Rapat ditutup tepat jam 15.00 dengan salah satu keputusannya adalah Nurlaili tidak naik kelas.
Ya, memang keadaan kegiatan mengajar di sekolahku belum maksimal. Di era komputer saat itu, masih banyak guru yang meminta murid untuk mencatat di papan tulis. Selain kurang buku, guru juga kurang kreatif dengan keadaan yang ada. Malah ketika aku membuat semacam modul, kemudian ku foto copy dan anak-anak mengganti uang yang kukeluarkan, ada sindiran yang kuterima.
”Wah buat modul agar bisa  beli motor ya?” tanya pak Heru ke Bu Fani.
”Ya, begitulah.” Sahut bu Fani ringan.
”Pak Heru, Bu Fani maaf, kalau saya kan tidak mungkin meminta anak untuk menulis materi saya di papan tulis, berapa waktu yang terbuang, jadi modul kubuat untuk mengatasi kelangkaan buku dan juga memudahkan saya dalam mengajar.” aku memberanikan diri menjelaskan apa yang kulakukan kepada pak Heru dan ibu Fani. Aku tidak peduli mereka marah padaku, tetapi kurasa perlu. Karena sebagai guru senior seharusnya mereka yang memberi teladan kepadaku, dan memotivasi teman yang ingin mengajar dengan  baik, bukan dengan menyindirku seperti itu.
Setahun telah berlalu, aku mengawasi ujian nasional di sekolah lain yang ada di kotaku, dan aku kaget melihat Nurlaili duduk di belakang mengikuti ujian. Berarti dia pindah kemudian naik kelas, atau naik kemudian pindah kelas? Aku bertanya-tanya heran. Ah biarlah mudah-mudahan apa yang dia dapat adalah yang terbaik untuk Nurlaili. Batinku menjawab keherananku.





0 Responses so far:

Leave a Reply