Pages

Mengenai Saya

Foto saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Menjadi guru adalah salah satu anugerah yang terindah bagi saya, Allah Yang Maha Kuasa memberi kesempatan diri saya untuk belajar dan berkarya. bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Asa ke depan tetap berkarya dan berkarya walau usia semakin senja. Mudah-mudahan Allah meridhoi.Amin

Slide

20/04/11

Dik Tik

Posted by Saptari Dharma Wijayanti on 16.13 0 komentar




Dik Tik
Nyaman sekali rumah ini, dinding bersih, perabotan sederhana, lantai putih mengkilat, dan halaman yang cukup luas serta rindang. Aku senang sekali dengan kemajuan yang telah diperoleh dik Tatik, baik dalam ekonomi maupun ketentraman dalam rumah tangganya. Kehidupan ekonomi yang cukup ditambah suami yang sangat menyayanginya  serta  dua anaknya yang baik lagi pintar. Mudah-mudahan ayah dan ibu menjadi tenang di alam sana. Ingat ibu dan ayah ingatanku juga melayang ke masa lalu…
            ”Bu Yanti, kok Tatik diremidi bu?” tanya Herni heran.
”Memangnya kenapa?” aku balik bertanya.
”Kan adikknya ibu.” jawabnya masih heran.
”Terus apa hubungannya  dengan remidi?”
”Ya menurut saya ibu tinggal memberi nilai yang tinggi untuk adik ibu.”
”Itu kan menurut kamu, menurut ibu ya tidak.”        
”Berarti ibu tidak sayang sama adik ibu.”
”Kalau menurut kamu seperti itu, ya tidak apa-apa, itu hak kamu untuk berkata seperti itu.” jawabku rileks.
”Untung saya tidak menjadi adik ibu.”
”Ya untung juga ibu tidak menjadi kakakmu.” Jawabku sambil senyum.
”Kenapa sih ibu  seperti itu?”
”Cobalah kamu berperan sebagai ibu, nah nanti di rumah kamu renungkan apa yang akan kamu lakukan terhadap adikmu, sudah ya ibu mau istirahat.”
”Ya bu.” jawab Herni pendek.
             Herni adalah sahabat dik Tatik, dia mungkin tidak rela temannya diremidi dan hanya satu-satunya remidi yang diikuti dik Tatik adalah pelajaranku. Matematika kelas II. Saat itu salah satu kriteria kenaikan adalah nilai rata-rata semua pelajaran enam, untuk semua pelajaran kelompok umum dan kelompok produktif. Tadi malam hasil pengolahan rata-rata nilai matematikku adikku hanya lima koma delapan. Walau satu rumah,  adikku tidak kuberi tahun hasil ulangannya, biarlah dia melihat sendiri pengumuman remidi di papan pengumuman. Adikku memang lemah dalam matematika, makanya saya heran ketika kelas satu tahun lalu nilai matematika di rapor adalah delapan. Mungkinkah  Pak Edo terlalu sayang kepada adikku? Karena Pak Edo adalah adik sepupuku. Pak Edo adalah kepala sekolah tempatku mengajar, dan juga pengampu pelajaran matematika. Adikku sekolah di tempatku agar masalah biaya sekolah langsung dipotong dari honorku, juga tidak perlu transpot karena rumahku hanya 50 m dari tempat mengajarku.
            Walau prestasi adikku biasa saja, akhirnya dia lulus juga. Lega rasanya. Seminggu dua minggu dari hari kelulusan masih terasa senang, namun memasuki minggu ke tiga nampak dia mulai murung.
”Dik Tik, kamu sakit?” tanyaku.
”Tidak mbak.” jawabnya pendek.
”Terus kenapa kok diam saja?” tanyaku heran.
”Bingung mbak.”
”Bingung apa, kan sudah lulus?”
”Nganggur dua minggu, bosen mbak.”
”Terus keinginanmu apa? Kuliah?” dik Tik diam saja, ”Mbak Wit masih agak berat nanggung kakakmu yang belum selesai kuliahnya.” jelasku.
”Aku tidak pingin kuliah mbak, kan otakku kurang encer.” jawabnya polos.
”Terus pingin apa?”
”Kursus salon mbak.”
”Kursus jahit saja ya?” tawarku.
”Ya boleh mbak.” jawabnya. Kulihat dia bilang boleh, tetapi wajahnya tetap mendung. Tapi urusanku banyak jadi wajahya yang mendung tak kupedulikan.
            Satu bulan kursus jahit adikku minta keluar, alasannya merasa tidak enak minta uang kepadaku untuk  membeli bahan praktik.  Aku tidak memaksanya karena saat itu aku memikirkan kakaknya yang sedang mengambil kuliah jurusan pendidikan bahasa inggris. Namun kulihat adikku menjadi tambah murung, walau murung soal pekerjaan rumah dia yang paling rajin, tenaganya sangat kuat. Mencuci dua baskom pun dia kuat.  Sebenarnya aku resah juga melihat adikku menganggur dan murung. Aku tahu bakat adikku, dari kecil sudah nampak. Sewaktu kecil dik Tik dia selalu bermain-main dengan  rambut  kakak-kakaknya, bahkan ibu juga. Dik Tik selalu ambil sisir dan mulai mendandani kami, kadang digelung, dikepang., bahkan kadang di pilin-pilin khusus untuk rambut kami di bagian depan. Kadang sampai risih, dan akhirnya kena semprot  dari kakak-kakaknya, karena kadang terasa perih rambut ini ditarik-tarik. Ketika bermain rambut boneka yang dibelikan ibu tidak pernah utuh. Kadang rambut boneka yang semula panjang, lama-lama menjadi pendek dipotong sedikit demi sedikit olehnya. Alis boneka juga berubah baik warna, maupun bentuknya. Warna alis dia ganti dengan ballpoint. Sering juga dia bermain dengan batang daun pisang, dibuat boneka kemudian membuat rambutnya panjang sekali, kadang dikepang, digelung, dan lama-lama dipotong habis. Hampir tiap hari dia bermain dengan rambut. Ketika berumur tujuh tahun pernah  kupergoki sedang menggunakan BH dan kebaya ibu. Kugoda dia sampai menangis.
”Bu, dik Tik mau jadi pengantin!” godaku dengan tertawa keras.
”Mbak Wit nakal!” rengeknya sambil mencopot kebaya dan BH yang dipakainya. Tentu saja BH dan kebaya yang dipakainya kedodoran. Lucu sekali. Sedangkan untuk rambutnya dia pakai cemara ibu. Selain cemara kadang dia pakai kain barut yang ada untuk membuat gelung di kepalanya. Pokoknya tingkahnya menggemaskan. Saat dik Tik  bermain kain berserakan dan almari yang sudah rapi menjadi amburadul. Tetapi ibuku memang hebat, ibu tidak pernah melarang anak-anaknya yang kecil bermain-main. Bahkan ibu sering meladeninya. Kalau anak-anak sedang bermain ibu selalu menyediakan teh manis dan sedikit makanan di dekatnya. Aku juga merasakan kasih sayang ibu untuk yang satu ini, ketika bermain air hujan aku tidak pernah dimarahi. Selesai bermain air hujan ibu selalu menyediakan susu hangat untukku. Juga ketika kakak perempuanku naik sepeda mengelilingi kota Purwokerto, juga dibebaskan oleh ibu. Kakak laki-lakiku satu-satunya, sering merusak barang yang ada di rumah. Misalnya payung, gunting, gitar, dan barang lain di rumah sering dirusaknya. Mulai-mula barang itu dibongkar, tetapi kemudian kakakku tidak bisa memasangnya lagi. Suatu hari ibu pernah juga  lengah. Waktu itu bapak dinas luar kota, dua kakakku perempuan dan laki-laki pinjam tangga ke tetangga sebelah, dan masuk ke lubang atap.
”Bu,  mbak Iin dan Mas Indra naik ke atap bu!” teriakku.
”Yang penting hati-hati ya.” sahut ibu. Tiba-tiba, Krompyang!!! kemudian kudengar suara kedebug, dan kulihat kakak perempuanku sudah terkapar. Mata kakakku  membeliak menakutkan, sementara kakakku yang laki-laki melongok dari lobang eternit yang jatuh ke bawah, untung dia bisa turun ke bawah. Kakakku jatuh karena menginjak eternit yang dikira padat, untung dia tidak langsung jatuh ke lantai, tetapi mengenai kursi yang diletakkan di atas meja makan. Kami kalau mengepel kursi meja makan pasti  diletakkan di atas meja dalam posisi terbalik. Akibat dari peristiwa itu kakakku opname di rumah sakit selama 10 hari, agak gegar otak. Sejak saat itu kakakku tambah galak, kepalaku sering dijitak,  kalau sikapku  tidak sesuai dengan keinginannya.
Aku dan dua kakakku selalu bermain bertiga. Ketika ayah dinas di Irian Jaya, kami bebas sekali. Mandi di sungai sehari sampai tiga kali. Salah satu acara mandi di sungai adalah bisa menyeberang ke daratan di seberang. Tetapi aku tidak diperbolehkan ikut menyeberang bersama mereka.  Ada dua kejadian yang menakutkan bagiku. Saat itu kakakku sedang bermain di seberang, jadi aku latihan berenang dengan cara menelentang (mbatang), ternyata tubuhku terbawa arus, kudengar kakakku teriak-teriak,
“Wiwit keli!!! (hanyut)........” teriaknya. Badanku yang kecil tidak bisa mbalik, jadi hanyut terbawa air dalam posisi telentang, untung ada batu besar yang ada di tengah sungai, badanku tertahan oleh batu itu. Kemudian aku berpegangan pada batu untuk berdiri, akhirnya dua kakakku menolongku. Peristiwa yang kedua juga sama, dua kakakku menyeberang sungai, kemudian tiba-tiba air meluap. Aku teriak,
“Kaaaak banjir .....................” untung dua kakakku mendengar dan cepat-cepat kembali ke arahku. Kulihat kakakku yang laki-laki tertatih-tatih memegang batu di pinggir sungai, aku ngeri sekali melihatnya karena saat itu air meluap secara tiba-tiba. Sejak saat itu kami pindah ke kota, jadi tidak pernah mandi di sungai lagi. Semua peristiwa di sungai merupakan rahasia kami bertiga, ayah dan ibuku tidak pernah tahu. Ternyata setelah dua puluh tahun aku meninggalkan desaku, aku berkesempatan bertugas di desaku. Kulihat sungai Progo itu, ternyata sungainya tidak terlalu besar. Kenapa saat itu besar sekali ya? Mungkin karena saat itu tubuhku yang sangat kecil, maklum umur tujuh tahun.
Dua kakakku lebih pengalaman lagi, pernah adik ibu meninggal, bapak masih di Irian, ibu tidak mungkin pulang menghormati jenazah adikknya yang terakhir, karena ada tiga adikku yang masih kecil-kecil. Adik terkecil berumur tiga bulan. Kemudian ibu menyuruh kakakku yang berusia sebelas dan sembilan tahun untuk ke Purwokerto. Perjalanan ke Purwokerto harus menggunakan bus dan angkutan pedesaan, tetapi ibu pasrah saja kepada sopir. Akhirnya kakakku sampai juga ke tempat nenek, dan nenek menangis melihat cucu-cucunya yang kecil datang sendiri dari kota Magelang. Untuk pulang kembali ke Magelang nenek menyuruh Mang Kodir untuk mengantar kedua kakakku.
Kebebasan yang diberikan ibu kepada kami dahulu, ternyata membut kami tetap gembira menghadapi hidup yang kadang tidak mudah saat ini. Ayah juga adil memperlakukan kami, kalau kami bertengkar semua dapat hadiah dari Ayah, sabetan di pantat. Tetapi Ayah pernah juga kalah dariku, ketika kami bertengkar dan Ayahku sedang menghukum kakakku, aku cepat-cepat lari ke kamar mandi, dan kukunci dari dalam. Walaupun  dua jam di dalam kamar mandi yang  baunya kurang sedap , aku tetap betah, bahkan aku bebas bermain air.  Pintu baru kubuka ketika ayah memberikan tawaran tidak akan menghukumku, ayah konsekuen tidak menghukumku secara fisik. Ibu juga kadang menghukum kami secara fisik. Ibu pernah mau mencubit bokongku karena geregetan dengan tingkahku. Namun, aku sudah menangis keras-keras terlebih dahulu, jadi ibu batal mencubitku. Kata ibu aku paling manja dulu, mungkin karena jarakku dengan adikku terpaut hampir lima tahun, sementara saudaraku yang lain rata-rata jaraknya dua tahun. Ingat waktu kecil banyak kenangan indah yang kudapat dulu.
“ Mbak kursus salon ya....” pinta adikku mengagetkan lamunanku.
”Ya terserah kamu, tapi kamu harus mau jalan kaki ke salon, karena mbak Wit tidak ada dana untuk transpot.” kataku.
”Ya mbak, kapan mbak?” tanyanya.
”Besok kamu cari informasi kursus salon yang terbaik, juga harganya, barangkali  mbak Wit bisa mbayar.” pesanku.
”Ya mbak.”
Ternyata biaya kursus salon beserta biaya praktiknya melebihi biaya kuliah selama dua semester. Saat praktik, aku harus menyiapkan uang setiap hari, untuk transpot praktikan, bahan, serta keperluan lainnya, rasanya agak berat juga mengingat penghasilanku masih sedikit. Namun akhirnya kursus adikku selesai juga, dik Tik lulus dengan nilai yang memuaskan, sudah kuduga karena bakatnya memang di sana. Rasanya lumayan lega. Apalagi begitu lulus dik Tik langsung bekerja di tempat dia belajar. Paling tidak dia tidak menganggur, ada kegiatan,  dan tentu saja bisa memiliki uang saku untuk dirinya. Adikku  pintar juga  rupanya, uang yang diperolehnya dikumpulkan sedikit demi sedikit, hingga terkumpul banyak, dan akhirnya dia memutuskan untuk mandiri. Dia mengontrak ruang kecil, di perempatan.  Ujung selatan dari tempat kedudukan salonnya terdapat sebuah rumah sakit, di Ujung utara terdapat universitas cukup ternama, dan di Ujung timur adalah kompleks perumahan baru yang jumlahnya tidak  sedikit. Aku yakin  suatu saat usahanya akan dapat berkembang. Kelebihan dik Tik darinya yang tidak dimiliki kakak dan adiknya adalah sifat tahu dirinya yang sangat besar. Mengetahui kekurangan dan kemampuan dirinya. Dik Tik tahu kemampuan otaknya tidak secemerlang kakak adiknya, tapi dia juga tahu bakatnya yang luar biasa. Keahlian dalam urusan kecantikan adalah miliknya, selain keahlian dalam memotong rambut dan merias wajah, juga pijatannya enak sekali . Dalam hal kebersihan rumah, dialah jagonya. Rasa berbaktinya kepada kakak-kakaknya juga luar biasa, terutama kepadaku. Baju-bajuku selalu rapi, mulai dari mencuci sampai dengan menyeterika, dik Tik yang melakukannya. Kata dik Tik aku sudah cari uang jadi tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah. Maka, ketika menikah aku baru merasakan semua pekerjaan rumah tangga. Itu juga sebentar saja, karena begitu aku hamil langsung ada pembantu rumah tangga. Betul kata ibu ,aku memang selalu manja. Tapi bukan aku yang meminta, keadaan  dan Allah yang  telah memberikan semuanya kepadaku.  
Kini omset usaha adikku melebihi gajiku yang sarjana. Namun di Tik tetap sederhana, pelayanan kepada saudara-saudaranya juga masih tinggi, juga selalu menabung, kata dik Tik untuk persiapan biaya  pendidikan anaknya, dan dia masih punya cita-cita selain usaha salon dia ingin memiliki toko yang besar.  Mudah-mudahan Allah meridhoinya. Dari dik tik aku dapat menarik pelajaran, bahwa untuk berhasil perlu kerja keras, kesabaran, dan tidak pantang menyerah.









0 Responses so far:

Leave a Reply