“Tuh! lihat anak itu, besok dia masih bisa begitu tidak ya?” Tanya Pak Hono kepadaku sambil menunjuk Nurlaili yang sedang bergoyang dangdut.
“Memangnya kenapa pak?” tanyaku heran.
“Apa njenengan tidak tahu? Wong njenengan saja memberi nilai empat sebanyak dua mata pelajaran untuknya.” jawab pak Hono.
”Apakah nilai lainnya bagus kan pak?”
”Ya sami mawon.” kata pak Hono sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, mungkin dia meresapi juga kata yang diucapkannya yang artinya sama saja.


”Selain nilai mata pelajaran saya, nilai apa lagi yang merah untuk rapornya Nurlaili?” tanyaku mengalihkan pertanyaan pak Hono.
”Banyak bu, yang tidak merah nilai agama dan sejarah.”
”Oh, pantas saya susah sekali menjelaskan kepadanya pak!”
”Ya tentu saja , pelajaran yang bu Yanti ajar kan sulit semua untuk dia.”
”Sebetulnya kasihan ya pak.”
”Ya tidak bu, sikap dia juga sangat menjengkelkan, kepada guru berani sekali bu, coba lihat sekarang!” pak Hono memintaku melihat Nurlaili yang bergoyang seronok di antara teman-teman laki-laki yang mengrumuninya.
”Nilaiku sangat mematikan ya pak?”
”Tidak usah dipikir bu, besok saja saat rapat pleno kenaikan kelas, kita bahas bersama teman-teman yang lain.”
Bagaimana aku tidak mikir? Aku ingat dari tiga mata pelajaran di kelasnya dia kuberi nilai 4 untuk akuntansi biaya, nilai 4 untuk matematika, dan nilai 5 untuk mata pelajaran akuntansi keuangan lanjutan. padahal bobot akuntansi keuangan 7 jam pelajaran, akuntansi biaya 5 jam, dan matematika 4 jam pelajaran. Nilai rata-rata dihitung dengan cara mengalikan nilai dengan jumlah jam tersebut dibagi jumlah jam, sehingga nilaiku untuknya memberikan kontribusi yang sangat besar untuk membuat dia gagal naik kelas.

Aku bersyukur pernah mengajar di sekolah ini, kudapatkan kasih sayang, kekeluargaan yang kental, dan suasana demokratis ketika rapat kenaikan dan kelulusan kelas. Semua diserahkan kepada dewan guru, kepala sekolah hanya menengahi ketika terjadi proses argumentasi yang memanas. Seperti saat itu panas sekali suasananya.
”Tolong Nurlaili dinaikkan saja!” pinta pak Hadi memohon, padahal dia bukan wali kelasnya.
”Bagaimana pak Hono sebagai wali kelas?” tanya kepala sekolah.
”Ya kalau saya sebagai wali kelas ingin semua anak saya naik semua, tapi untuk Nurlaili ini sangat berat, apalagi jumlah kehadiran tatap mukanya sangat sedikit dia sering tidak masuk pak”
”Kalau menurut bu Yanti?” kepala sekolah mengagetkanku.
”Ya menurut saya nilai yang saya berikan untuknya sudah maksimal pak, kemampuan berhitungnya rendah sekali pak.” jawabku, aku ingin mempertahankan nilai yang sudah kuberikan kepadanya.

”Bagaimana bapak ibu?” tanya kepala sekolah lagi.
”Ya jangan pak!” kata ibu Fani ngotot.
”Bagaimana Pak Bari?”
”Ya silahkan pak, kalau Nurlaili tidak naik itu juga sudah sepadan dengan upayanya selama ini, dan saya kira kegagalan saat ini bukan menjadi harga mati untuk kegagalan di masa yang akan datang, mudah-mudahan dengan kegagalan ini dia menyadari kekeliruannya. Tetapi saya juga berharap mari kita tingkatkan pelayanan kita kepada anak-anak. Kalau kita pantau kehadirannya secar rutin, pasti tidak mungkin jumlah absennya sebanyak itu. Juga saya sering melihat saat pelajaran ada guru yang meninggalkan kelas dan hanya duduk-duduk di ruang guru.” jawab pak Bari panjang lebar. Rapat ditutup tepat jam 15.00 dengan salah satu keputusannya adalah Nurlaili tidak naik kelas.
Ya, memang keadaan kegiatan mengajar di sekolahku belum maksimal. Di era komputer saat itu, masih banyak guru yang meminta murid untuk mencatat di papan tulis. Selain kurang buku, guru juga kurang kreatif dengan keadaan yang ada. Malah ketika aku membuat semacam modul, kemudian ku foto copy dan anak-anak mengganti uang yang kukeluarkan, ada sindiran yang kuterima.
”Wah buat modul agar bisa beli motor ya?” tanya pak Heru ke Bu Fani.
”Ya, begitulah.” Sahut bu Fani ringan.

Setahun telah berlalu, aku mengawasi ujian nasional di sekolah lain yang ada di kotaku, dan aku kaget melihat Nurlaili duduk di belakang mengikuti ujian. Berarti dia pindah kemudian naik kelas, atau naik kemudian pindah kelas? Aku bertanya-tanya heran. Ah biarlah mudah-mudahan apa yang dia dapat adalah yang terbaik untuk Nurlaili. Batinku menjawab keherananku.