“Sertifikasi dihapus, karena sertifikasi menimbulkan kecemburuan”, “Betul bu, banyak yang usul seperti itu ketika kami rapat di mana-mana” lanjutnya , kata-kata itu kudengar di ditelingaku dari bibirnya pada tanggal 10 Januari jam 13.45 WIB, dia adalah salah satu kabag dari suatu instasi di daerahku. Aku tersenyum kepadanya, tidak menyanggah dan tidak mengiyakan ucapannya, karena saya adalah guru, dan juga guru yang satu tahun ini telah menerima rizky dari Allah lewat sertifikasi.
Untuk menanggapi ungkapan ibu tersebut, saya tergelitik untuk berbagi ceritera tentang perjalanan karier seorang guru yang mendapat sertifikasi.
Saya menjadi seorang guru sejak 1986 selepas lulus dari IKIP Semarang, jurusan PDU Akuntansi. Pertama kali mengajar di SMEA Maranatha dengan gaji borongan pe bulan sebesar Rp 40.500, karena status saya sebagai guru GTT yayasan. Formasi CPNS untuk jurusan akuntansi hampir tiap tahun ada, dan saya selalu mencobanya. Pada tahun 1992 saat saya mendaftar seleksi CPNS yang ke-7, dari salah seorang petugas pendaftaran mengatakan, “koq baktinya di swasta bu”, katanya sambil menggeleng-nggelengkan kepalanya. Saya merenung dan berpikir, apa makna dari pertanyaan bapak petugas pendaftaran tersebut?
Kepada bapak kepala sekolah saya sampaikan pertanyaan tersebut kepadanya, kemudian dia memberi saran kepada saya untuk mencoba mengajar di SMEA Negeri, ternyata saya diterima dengan status GTT. Dan benar Tahun 1994 dan 1995 saya lolos Tahap pertama seleksi CPNS, tetapi gagal wawancara di tingkat propinsi. Dengan demikian tahun 1993 hingga tahun 1997 saya mengajar di dua tempat dengan jadwal yang dipadatkan, rata-rata saya mengajar 42 jam per minggu, dengan honor kurang lebih Rp 130.00,00, total pendapatan dari dua tempat saya mengajar. Saya mengajar Dasar-dasar akuntansi, Akuntansi Keuangan Lanjutan , Akuntansi Perbankan, dan Akuntansi Biaya. Pernah ada satu tahun yang unik mengajar di Maranatha, saya pernah mengajar 37 jam pelajaran dengan 5 Mata pelajaran, yaitu akuntansi keuangan, akuntansi biaya, matematika di kelas II Akuntansi, dan mata pelajaran Bisnis Lanjutan serta Tehnologi Perkantoran di kelas III Administrasi Perkantoran), dan sore hari memberi ekstrakurikuler komputer, di mana saat itu masih WS dan LOTUS.
Pada bulan Juni 1997 seorang pejabat kurikulum SMK Ma’arif Cilongok bertandang ke rumah dan meminta saya untuk mengajar di sekolahnya, permintaan ini saya terima, bukan karena honornya, tetapi karena saya ingin berjilbab, jadi dengan terpaksa SMK Maranatha yang telah memberikan banyak pengalaman mengajar kutinggalkan. Tahun 1997 s.d Tahun 2000 saya mengajar di dua tempat SMK N 1 Purwokerto, dan SMK Ma’arif Cilongok. Selain itu pada tahun 1999 saya diminta juga mengajar akuntansi di D3 Bahasa Inggris, saya katakan diminta karena saya tidak pernah melamar. Semua status tersebut saya lepaskan, juga murid-murid les akuntansi saya di rumah, setelah saya diterima sebagai CPNS sejak Desember 2000 menjadi guru di SMP N 2 Somagede di desa Tanggeran Banyumas, mengajar IPS. Separuh dari gaji untuk biaya transpot bus untuk 2 atau tiga kali perjalanan, dilanjutkan dengan angkot pedesaan atau OJEG. Agar tidak terlambat saya selalu berangkat jam 05.30 sampai di rumah paling banter jam 15.00 karena angkot pedesaan sangat jarang waktu itu.
Alkhamdulillah tahun 2004 saya mutasi di SMP N 1 Karanglewas, saya diijinkan mutasi dengan alasan kesehatan, mendekati rumah tinggal dan diharapkan lebih sejahtera serta dapat mengajar dengan optimal. Tahun 2004 pula pengajuan PMK saya dikabulkan oleh pemerintah, sehingga masa kerja saya sekarang 19 Tahun. Tahun 2009 saya dinyatakan lulus sertifikasi portofolio, dan alkhamdulillah tahun 2010 saya telah menerimanya. Kepada pemerintah saya ucapkan terima kasih, yang mungkin dapat mewakili satu dari ribuan guru dengan nasib yang sama, bahkan dengan honor yang jauh lebih rendah untuk rekan-rekan guru SD, yang baktinya sampai 19 tahun, atau bahkan lebih.
Dan perlu pembaca ketahui, harga yang pernah diberikan dari masyarakat kepada saya sebagai guru les akuntansi, privat maupun grup adalah Rp 50.000,- untuk setiap tatap muka (90 menit), dan bahkan kadang lebih, tanpa saya memberi tarif, karena bagi saya ilmu tidak diperdagangkan. Masyarakat awam saja sangat menghargai kami, mengapa sertifikasi meresahkan sebagian pejabat struktural? dapatkah anda menghitung berapa “harga” seorang guru seperti kami sebenarnya, yang minimal sehari mengajar puluhan bahkan ratusan anak dalam sehari?.
Pada akhir tulisan ini saya pribadi ingin bertanya kepada pembaca, khususnya kepada ibu yang telah bercerita kepada saya, masih inginkah sertifikasi dihapus setelah anda membaca pengalaman mengajar dan honor yang saya terima baik sebagai GTT maupun sebagai guru les seperti di atas?
(Dra. Saptari DW, guru IPS SMP N 1 Karanglewas,