PAK LURAH
“Itu siapa bu?” tanyaku pada bu Karni.
“Yang mana? “ bu Karni bertanya balik.
“Yang baru lewat pakai motor merah.” Jawabku.
“Oh... dia pak lurah desa belakang sekolah kita, memang kenapa bu?’ jawab bu Karni kelihatan heran.
“ Aku merasa kenal, apakah namanya Roso?”
“Ya memang Roso, njenengan kenal di mana bu?“ nampak muka bu Karni keheranan.
“Ya bu, dia dulu muridku.”
“Masa?” bu Karni tambah heran.
“Ya bu, dia muridku di SMEA 15 tahun yang lalu.” Jelasku. Bu Karni nampak tidak percaya, tapi kemudian temanku Bu Harti memanggilnya, jadi keheranannya terpaksa disimpan dulu.
Aku yang ditinggal sendiri tercenung, kembali ke masa lima belas tahun yang lalu. Roso. Ya, dia muridku yang selalu terlambat ketika aku mengajar jam pertama di kelasnya. Kalau tidak terlambat bukan Roso namanya. Seperti pagi itu, ketika aku mengajaar di III Keu 1, ada ketukan di pintu. Kujawab “Masuk!”
“Oh Roso, kenapa terlambat Roso?” kutanya dia walaupun sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.
“Tidak ada angkutan bu.” Jawabnya.
“Dari rumah jam berapa Roso?”
“Jam setengah enam bu.”
“Bisa tidak besok kalau pas jam ibu kamu tidak terlambat?”,
“ Saya coba bu.” jawabnya menunduk.
“Apa terlambatnya pas jam ibu saja?” tanyaku curiga.
“Tidak bu, biasanya tidak ketahuan”,

“Ya guru yang lain juga terlambat.” jawabnya ringan. Aku tertegun dengan jawabannya. Aduh! Kena aku, bagiku teman yang terlambat, aku juga malu.
“Ya sudah silakan duduk, mudah-mudahan lain kali tidak terlambat ya?” kataku. Sambil menjawab ya, kulihat dia melangkah dengan gontai ke tempat duduknya, nampak lelah sekali. Dia tidak tinggi, bahkan mendekati pendek untuk ukuran laki-laki. Dia muridku yang sudah berkumis agak tebal, pakaiannya rapi, nampak agak kebapakan.
Sambil meminta anak untuk mengerjakan PR di papan tulis, aku teringang-ngiang dengan jawaban Roso yang berangkat setengah enam. Apa jauh? Apa ada daerah yang tidak ada angkutannya?
“Hayo ngelamun? ” bu Karni mengagetkanku.
“Iya bu, Roso itu dulu muridku yang paling sering terlambat. Untung aku dulu hanya menegur, tidak marah-marah atas keterlambatannya.” Ujarku.
Aku tidak mengira muridku rumahnya sangat jauh. Saat ini posisiku seperti Roso. Untuk menuju SMP N 2 tempat aku mengajar sekarang, aku harus tiga kali ganti angkutan. Dari rumah aku berangkat jam setengah enam, menuju terminal, ganti ke jurusan Banjarnegara, turun di pasar Sokawera, kemudian ganti angkutan pedesaan. Aku harus pagi-pagi untuk mengejar angkutan pedesaan yang pertama naik, biasanya hanya aku penumpangnya. Kalau tidak seperti itu, nunggu angkutan bareng rombongan guru SD yang mengajar di Kelinting, Kemawi, pasti aku terlambat setengah Jam. Bagaimana tidak? Karena jam tujuh baru ngumpul, berarti sampai sekolah jam setengah delapan. Aduh malu aku di depan muridku.
Aku pernah terlambat, aku ijin kepada temanku, aku malu masuk ke kelas. Setelah bel berbunyi tanda bergantinya jam pelajaran aku baru masuk kelas. Apabila bisku terlambat, dan aku ketinggalan angkutan pedesaan kloter pertama, maupun kloter kedua, berarti uang tambahan harus ku keluarkan lagi untuk ngojek. Separoh gajiku habis untuk angkutan, ditambah untuk ngojek, jadi tambah banyak, tapi tidak apa-apa. Kan sudah pegawai negeri, batinku menghibur. Daripada dulu ..... bakti 14 tahun. Hmmm nikmatnya.

Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku kesempatan mengenal daerah yang selama ini tdiak pernah kukenal, desa yang indah, ramah penduduknya, udara sangat segar, bisa memandang sungai Serayu yang berkelok-kelok ketika aku turun. Dan terima kasih pula Engkau telah mengangkat dia menjadi kepala desa, walau bengkok untuknya adalah tanah yang kurang subur. Tapi amanahmu sungguh mulia untuknya.
Sekarang aku sudah tidak mengajar di sana lagi. Aku mengajar dekat dengan rumahku, hanya 5 menit. Ini rizky yang sangat besar dari Allah. Terakhir kudengar dia dipilih lagi menjadi kepala desa, dia memperoleh suara mutlak. Selamat berjuang Roso, bangunlah desamu. Ajaklah wargamu untuk bersujud kepadaNya, Insya Allah desamu akan sejahtera. Amin. Aku bangga dengan perjuanganmu untuk sekolah dulu., dan kalau boleh, aku juga bangga pernah menjadi gurumu.
Mendukung diri sendiri? saya rasa ada benarnya sebagai ujud rasa sayang pada diri sendiri sekaligus bersyukur kepada Allah.