Wajahnya mungil, tetapi matanya besar. Dia memperhatikan penuh ketika kuajar. Di kelas dia menduduki peringkat tiga. Adiknya satu, laki-laki. Ayah dan ibunya seperti orang desa pada umumnya, lugu dan sederhana.
“Ning, setelah lulus kamu meneruskan ke mana?” tanyaku.
”Tidak tahu bu?” jawabnya pelan.
”Kok tidak tahu?”
”Iya bu, bingung.... tidak ada biaya.”
”Selama ini uang sakumu berapa sebulan?”
”Enam puluh ribu, bu.”
”Ya lumayan banyak ya Ning.”
”Ya bu, untuk transpot seribu, yang seribu lagi untuk jajan.”
”Kamu selalu jajan?”
”Ya tidak bu, jarang sekali sering saya tabung sisanya bu.”
”Ya sudah, mulai sekarang kamu berusaha semaksimal mungkin untuk ujian nanti. Usahakan dapat nilai yang terbaik di sekolah ini.”
”Susah bu....” jawabnya pesimis.
”Belum dicoba kok bilang susah Ning, coba dulu baru bilang susah kalau memang susah.” kataku menjelaskan.
”Iya bu saya coba, doakan ya bu.” jawabnya.
”Nah begitu cara memandang suatu cita-cita, harus optimis dan berdoa, setuju?”
“Ya bu.” jawabnya sambil tersenyum.
Dua bulan berlalu, Ningsih lulus dan menempati peringkat tiga untuk seluruh kelas. Aku mencari di ruangnya.
”Ningsih mana Sus?” tanyaku kepada Susmiati.
”Itu bu, duduk di belakang bu.” Susmiati memberikan jawaban yang memuaskan. Kulihat Ningsih sedang duduk dipojok membaca sebuah buku. Aku menghampirinya dan segera duduk disebelahnya. Ningsih yang menyadari kedatanganku segera menghentikan aktifitasnya.
”Ning, kamu bilang ayahmu selalu memberimu uang enam puluh ribu rupiah sebulan. Masih ingat?” tanyaku.
”Ya bu memang hanya enam puluh ribu rupiah sebulan.” Ningsih menjelaskan.
”Ini misalnya ya Ning.... misal lho, kamu ikut ke rumah ibu kemudian kamu sekolah di SMA dekat rumah ibu, kira-kira bagaimana?”
”Nanti saya bilang ke ayah dulu, bu.” jawab Ningsih.
”Ya bilang ke bapakmu dengan benar, bilang kalau ibu ingin membantu tapi hanya tempat tinggal dan uang SPP.” keperluan yang lain tanggungan bapakmu.
”Ya bu, Insya Allah.”
Keesokan harinya Ningsih menemuiku.
”Bu, Bapak mengijinkan saya sekolah.”
”Ya syukurlah, kapan kamu ikut ibu?”
”Nanti 3 hari menjelang pendaftaran ya bu.”
”Ya sudah, siapkan baju-bajumu serta perlengkapan yang lain.”
”Iya bu.” Jawabnya sambil pamit. Sementara itu Pak Amim datang menghampiri.
”Ada apa bu?” Tanya pak Amim.
“Ningsih mau ikut ke rumah saya untuk bersekolah.”
“Nanti jadi pembantu di rumah ibu.” kata pak Amim meremehkan ketulusanku.
“Insya Allah tidak pak, di rumah ada pembantu.”
“Maaf ya bu, karena banyak yang sepeti itu.”
“Ya tidak apa-apa pak.” jawabku sambil melihat Ningsih naik angkutan pedesaan.
Akhirnya yang ikut ke rumahku malah ada empat orang, karena aku memiliki kamar kosong dua buah jadi tidak masalah. Ningsih bersekolah di SMA, Siska dan Heni di SMK, dan Marina sekolah di LPK. Semua letak sekolah mereka berada satu jalur jalan raya depan rumahku. Jadi kalau untuk transpot sama dengan di SMP dahulu, pulang pergi hanya seribu. Aku agak bingung juga memilik empat anak gadis di rumah, karena saya tidak suka bicara maka semua aturan di rumah saya tulis. Di antaranya menyikat lantai kamar mandi selesai mandi, mengepel kamar dan ruang sebelah barat secara bergantian, serta menyapu halaman. Walau aturan yang kuberikan hanya seperti itu, namun anak-anak selalu membantu ketika aku masak. Aku senang dengan keberadaan mereka, tiap sore habis shalat maghrib anak-anak selalu membaca Al Quran, juga setelah shalat subuh. Anak-anak lebih suka diam di kamar. Namun setelah dua bulan Heni pulang tanpa pamit. Kata Siska, Heni mau bekerja di luar negeri, dan di rumahku makannya sedikit. Jadi sering lapar. Aku tertawa mendengar berita dari Siska, Heni makan sedikit bukan karena yang kuberikan sedikit, tetapi karena teman-temannya makan sedikit, dia malu. Aku kasihan juga, seusianya memang sedang banyak-banyaknya makan. Kecuali yang terbiasa makan sedikit. Maafkan ibu ya Hen.
Tiga tahun berlalu begitu cepatnya, dan anak-anak pun selesai sekolahnya. Aku sangat bersyukur, anak sepintar Ning dapat menyelesaikan sekolahnya dengan nilai yang memuaskan. Aku hanya menolong sedikit untuk mereka, yaitu hanya tempat tinggal. Malah kalau dihitung-hitung aku yang berhutang budi kepada mereka, karena selain rumahku bersih, rumahku juga tidak pernah sepi dari suara anak-anak membaca Al Quran. Orang tua masing-masing anak juga penuh pengertian dan besar rasa terima kasihnya. Yang lebih membahagiakan diriku adalah mereka menganggap aku ibu juga bagi mereka. Setiap langkah yang akan diambil dalam mencari pekerjaan sampai memperoleh pasangan mereka konsultasikan juga kepadaku. Bahagia sekali memiliki mereka. Suatu saat ada salah satu dari anak dilamar seseorang, ibunya meminta aku melihat mahar yang diberikan, terharu sekali hatiku, aku benar-benar dianggap ibunya.
Dari ke empat anakku yang paling tahan uji dan penuh semangat adalah Ning. Memang secara ekonomi dia yang paling bawah di antara ke empat anak itu. Lulus Ujian Ning saya minta kuliah di Universitas Terbuka, dia mengambil jurusan ekonomi, aku buka kantin, dan dia mau jadi penjualnya. Hasilnya lumayan, dia juga kugaji lumayan, bisa untuk membayar kuliahnya. Tetapi karena aku terlalu capai dan akhirnya jatuh sakit, maka usaha itu kuhentikan. Dan Ningsih pun pulang kr kampung halamannya karena menganggur terlalu lama.
”Tuuuuuuut.... ” kudengar dering telepon di rumahku.
”Assalau`alaikum bu, ini Ning bu.”
”Wa`alaikum salam, ada apa Ning?”
“Ini bu, saya ada tawaran kerja, saya diminta momong tiga anak, dia pegawai tata usaha salah satu fakultas di Purwokerto.”
“Menurut ibu jangan dulu. Sepertinya kamu tidak bakat momong, kamu tidak pernah momong kan?”
”Ya bu, tapi Ning bingung, apa Ning boleh tinggal di tempat ibu sambil mencari pekerjaan bu?” tanyanya memelas.
“Mbak, pintu rumah selalu terbuka untuk mbak Ning kapan saja, ibu malah senang indah ada temannya.” kataku gembira.
“Kapan kamu ke rumah ibu?”
”Sekarang ya bu.”
”Ya, silahkan.”
Sore itu aku pergi ke toko roti dan aku bertemu dengan teman lamaku. Dulu dia pernah mengajar bersamaku, kemudian dia keluar karena usahanya semakin berkembang pesat.
”Bu Mar, borong ya?” tanyaku kepada bu Maria saat dia memilih roti yang ada di etalase.
”Hai bu Yanti, apa kabar? Lama ya tidak bertemu.”
”Baik, bu Maria apakah ibu membutuhkan tenaga kerja wanita? Saya punya anak di rumah, dia sedang mengambil kuliah di Universitas Terbuka, agar kuliahnya tidak berhenti ibu bisa membantu?” aku langsung bertanya banyak mumpung bertemu dengannya.
”Ya bu, tetapi sekarang saya akan ke Jakarta menengok anak saya yang pertama yang akan wisuda S2 besok. Dan maaf saya terburu-buru, sepulang dari Jakarta saya akan menelepon Bu Yanti.”
”Ya bu, terima kasih sebelumnya. Selamat jalan.”
”Terima kasih juga ya, sebenarnya saya kangen banget dengan Bu Yanti.” kata Bu Maria sambil memelukku, dia tinggi besar jadi badanku terasa kecil dalam dekapannya.
Sepulang dari toko aku menemui Ning, dan kuceriterakan pertemuanku dengan ibu Maria. Ning senang sekali, karena baru dua hari di rumahku sudah dapat informasi pekerjaan. Bu Maria adalah temanku selama 12 tahun, selain temanku beliau juga muridku, karena selama dua tahun bu Maria les privat akuntansi denganku saat beliau mengambil kuliah jurusan Akuntansi. Pulang kerja biasanya terus ke rumahku, mengerjakan tugas-tugas kuliah yang ada hubungannya dengan materi Akuntansi. Setelah Ibu Maria di wisuda, anaknya yang pertama juga les akuntansi denganku, demikian juga adiknya yang bungsu. Pada tahun pertama kuliah, aku mengajar mereka secara penuh. Satu minggu dua kali, dimulai jam 14.00 sampai dengan jam 16.00. Setelah mereka kuliah pada semester lima dan seterusnya mereka datang ke rumah hanya konsultasi materi yang sulit saja, kadang sepuluh menit, paling lama satu jam. Selama itu pula taksi menunggu di depan rumahku.
Benar, dua hari kemudian Ibu Maria menghubungiku.
”Halo bu Yanti, anaknya belum bekerja?”
”Ya belum bu, saya masih menunggu berita dari bu Maria.”
”Sekarang tolong di antar ke rumah saya ya bu?”
”Sekarang bu?”
”Iya, bawa pakaian sekalian, nanti dia tidur di rumah saya.”
”Ya bu, terima kasih ya.”
”Saya tunggu ya bu?”
”Ya.”
Aku langsung menuju kamar Ning yang sedang belajar dengan anakku.
”Mbak Ning, bu Maria sudah menelepon, beliau minta kamu sekarang juga ke rumahnya.”
”Sekarang bu?” tanya Ning heran.
”Iya. Sekarang bajumu semua di bawa, juga perlengkaan mandi dan tidurmu. Nanti bapak yang akan mengantarmu.” aku memberi perintah dengan cepat.
”Ya bu.” dia menjawab langsung mengerjakan apa yang kuperintahkan. ”Kalau hari minggu, saya boleh pulang ke rumah ini bu?” pintanya.
”Ya iya, kapan ibu menolak kedatanganmu?” aku balik bertanya.
”Terima kasih bu” jawabnya sambial tersenyum.
”Oh ya, di rumah orang lain tentu tidak betah. Kamu usahakan tetap bertahan, apalagi masih awal, biasanya pekerja yang lama akan berebut untuk menyuruhmu ini-itu karena di tempatmu bekerja ada dua puluh tujuh orang, terdiri dari 22 sales dan 5 tenaga administrasi, mbak Ning siap?”
”Ya bu, Insya Allah.” jawabnya lirih, ada ketakutan di matanya. Saya sangat memakluminya karena selama ini dunianya hanya di ruma orang tuanya, rumahku, dan sekolah.
”Hati-hati ya mbak. Lebih baik diam, jangan terlalu banyak bicara. Kamu pahami temanmu satu demi satu dan kamu juga bisa menyesuaikan dengan mereka, tetapi juga tetap memiliki prinsip, tujuanmu bekerja hingga kuliahmu selesai. Tidak usah mengurusi hal yang tidak perlu ya mbak.”
”Ya bu.” Kata Ning sambil menutup tas.
”Ya sudah, bapak juga sudah siap. Hati-hati, tetap baca Al Quran dan jangan lupa shalat Tahajud, hanya kepada Allah tempatmu meminta.” pesanku agak panjang.
”Ya bu, Ning pamit ya bu. Doakan biar Ning berhasil bu.” pamitnya.
”Ya mbak. Oh ya, ibu lupa tadi ibu sudah bilang ke bu Maria, untuk biaya kuliahmu semester tiga , ibu sudah minta tolong kepadanya untuk memberi pinjaman kepadamu, katanya akan dipotong dari gajimu.”
”Ya bu, terima kasih.” jawabnya. Aku melihat dia nampak lega sekali, mungkin karena sudah ada jalan keluar untuk biaya kuliah semester depan.
”Ya, hati-hati ya.” kataku sambil mengantarnya ke boncengan suamiku. Ada rasa trenyuh di dalam hati, sebenarnya aku ingin dia tetap tinggal di rumahku tetapi biaya transpotnya lumayan banyak kalau dilaju dari rumahku. Aku harus tega melepasnya, karena aku sudah paham sifat temanku. Bu Maria baik, pendiam, dan tidak suka bergunjing. Aku sudah mengatakan kepadanya apa yang harus dikerjakan Ning ditulis saja, nanti Ning akan paham.
Kini kuliah Ning hampir selesai, tinggal satu mata kuliah dan sekarang Ning menempati posisi kasir. Ayahnya pernah berceritera kalau tiap bulan Ning selalu membelikan susu untuknya. Status peusahaan temanku yang semula perusahaan perseorangan kini berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Jadi status kepegawaiannya semakin mantap. Aku ikut bahagia, semula dia hanya berharap dapat lulus SMP saja, kini gelar sarjana sudah mulai dekat di pelupuk mata. Semoga apa yang dia peroleh dapat meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah Yang Maha Esa.
Leave a Reply