Senang sekali aku melihatnya. Bajunya biru tua dengan bordiran bunga kecil di kerah, tangan, dan sakunya. Manis sekali. Baragkali mahal baju itu, batinku. Wajahnya penuh senyum, kalau senyum ada lesung pipit di wajahnya. Bukan di pipinya, tetapi ada di bawah matanya. Lucu dia. Bicaranya runtut, intonasinya bagus, jelas, dan meyakinkan. Dia mewakili kelompoknya untuk mempresentasikan hasil diskusinya.
“Bapak ibu, silahkan bertanya kalau ada yang kurang jelas?” ucapnya.
“Saya bu,” kataku sambil mengangkat tanganku tinggi-tinggi dan kudengar ada yang nyeletuk.
“Wah mbakyune takon, (wah kakaknya tanya)!” aku hafal suara itu. Suara temanku, Bu Fifin.
“Silahkan bu.”
“Apakah ibu melakukan penilaian proses juga, selain hasil yang sudah ibu sampaikan?” tanyaku serius tanpa senyum.
“Iya bu, maaf tadi saya lupa belum menyampaikan. Tentu saja ada penilaian proses untuk menilai keaktifan siswa, tanggung jawab, serta antusias siswa dalam pembelajaran, dimana nilainya berdasarkan hasil pengamatan selama proses diskusi dan presentasi anak.” Jawabnya lancar,
“Ya, terima kasih bu.” kataku.
Beberapa teman guru yang lain terus bertanya, dan kulihat dia bisa menjawabnya dengan lancar dan tenang, tentu saja senyumnya tidak pernah ketinggalan. Setelah dia duduk, aku ikut merasa lega karena presentasinya berjalan dengan lancar. Aku langsung mengetik SMS untuk dia,
”Mbak Wit senang sekali melihatmu tampil, selamat ya….”
Tidak beberapa lama ponsel genggamku bergetar. Rupanya adikku,
”Ya mbak, semua karena mbak Wit. Aku juga bangga menjadi adik mbak Wit teman-teman bilang baik tentang mbak Wit!”
Kutengok kearah tempat duduknya. SMSnya kujawab dengan senyuman.
Ya, aku bersyukur kepada Allah SWT bahwa selama seminggu ini aku mendapat ilmu tentang penelitian tindakan kelas yang penyajinya berasal langsung dari Amerika Serikat.Aku bersyukur bisa bertemu dengan adikku dalam satu suasana pendidikan, bertemu dengan orang-orang yang beragam karakternya tetapi tetap dalam konteks suasana pendidikan.
Dia adikku, yang berada dalam urutan nomor 5 di keluargaku, kulitnya paling gelap di antara kakak dan adikku sehingga oleh ibuku sering dipanggil Iyeng. Dia memanggil dirinya Ririn dengan vokal yang pelo sehingga menjadi Iyeng untuk memanggil dirinya sendiri. Sewaktu kecil rambutnya berwarna coklat kemerahan. Pernah digunduli oleh ibu ketika dia berumur 4 tahun. Harapan ibu rambutnya akan tumbuh hitam. Dan usaha ibu berhasil, rambutnya sekarang tebal dan hitam. Dia pula yang paling ceria, paling cerewet, dan paling rajin penampilannya, juga paling egois kalau urusan pekerjaan rumah. Kalau sudah mengepel ya sudah hanya itu. Prestasi belajarnya biasa saja tidak pernah memperoleh peringkat namum juga tidak bodoh, pas di tengah-tengah, atau sedang-sedang saja. Namun dia bisa masuk ke SMP N 2. Waktu dulu, salah satu sekolah favorit di kotaku., padahal dia berasal dari SD Tonjong, salah satu SD yang berada di desa Tonjong kecamatan Bumiayu. Berarti SD tersebut berhasil karena telah bisa mengantarkan adikku untuk dapat bersaing dengan anak-anak kotaku.
Lulus SMP dia masuk ke SMEA tempat aku mengajar yang letaknya dekat rumahku. Dia masuk ke sekolah itu dengan pertimbangan tidak ada transport dan terutama biaya sekolahnya dapat dipotong dari gajiku. Karena saat itu ayahku lama sudah pensiun, sementara yang sekolah masih 5 orang. Ayah memang pensiunan Kapten, tapi tidak cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran keluarga. Karena SMEA adalah tempat mengajarku, aku mengajar juga di kelasnya, yaitu jurusan sekretaris. Di kelasnya aku mengajar bisnis lanjutan dan tekhnologi perkantoran. Ulangan pelajaran yang kuajarkan, nilainya bagus. Bahasa Inggrisnya juga bagus, dia hanya lemah pada pelajaran matematika. Ujian akhir SMEA dapat dilalui dengan lancar. Setelah lulus dia bingung, dan akhirnya kucarikan pekerjaan lewat kepala sekolahku yang juga masih saudara. Dia diterima bekerja di Toko Emas yang ada di Purwokerto Wetan. Gajinya waktu itu dua uluh ribu sebulan. Sayang, karena sakit, dia harus keluar. Kemudian dia mengasuh keponakanku, anak kakak kami. Karena kakakku kerja di rumah sakit, dinasnya kadang siang, kadang sore, dan kadang malam juga. Jadi, nganggurnya ada manfaatnya juga. Selama menganggur dia kusuruh kursus bahasa inggris di SKB selama 3 bulan.
Sore itu kutanya kepadanya, ”Dik Ririn, pengin sekolah?”
”Ya pengin mbak, tapi apa mungkin? Ekonomi keluarga kita kan sedang kurang, untuk makan saja kan kurang” katanya loyo.
”Apa dulu waktu kita sekolah juga ada uang lebih? tidak kan?” kataku agak keras.
”Kalau sekolah ke mana mbak?” tanyanya.
”Di IKIP yang ada di kota kita saja, jadi tidak mikir kos dan transpot. Dari rumah bisa jalan kaki walau jauh, dan kamu ambil jurusan bahasa inggris. Kata Pak Djanto, inggrismu bagus dulu.”
”Terus biayanya?” tanyanya bingung.
”Ya justru itu, kamu berani susah tidak? mbak Wit punya uang dua ratus lima puluh ribu, berani kuliah?” tantangku.
”Ya berani mbak! saya coba.” jawabnya mantap.
Akhirnya dia mendaftar, ikut seleksi, dan diterima.
”Biayanya empat ratus tujuh puluh lima ribu rupiah mbak, gimana?”
”Lho kemarin kan mbak Wit udah bilang, mbak Wit hanya punya uang dua ratus lima puluh ribu rupiah, katanya kamu berani? Besok uang dibawa dan menghadap KTU IKIP, minta dispensasi waktu pembayaran, mohon kepadanya kekurangannya akan mbak Wit bayar selama tiga bulan.” kataku sambil berjanji,
”Ya mbak, besok saya coba.” jawabnya semanget. Ada keyakinan dalam hatiku, bahwa dia akan dapat masuk ke sekolah itu karena saat itu belum banyak yang bersekolah di sana. Artinya, saingannya tidak banyak seperti sekarang.
”Bagaimana dik Ririn, bisa nggak?”
“Kata KTU aku tidak berhak memberikan dispensasi mbak, besok saya disuruh menghadap Rektor untuk minta dispensasi secara langsung.”
“Ya sudah dicoba saja, siapa tahu bisa!” jawabku mantap.
“Ya mbak!”
Esoknya dia ke kampus lagi. Ternyata pak rektor memberikan dispensasi dengan mudah, mungkin satu-satunya mahasiswa saat itu atau sampai sekarang yang kuliah dengan membayar secara mengangsur. Aku juga menepati janjiku, setelah 3 bulan, lunas kewajibanku. Kadang kasihan juga aku kepadanya, untuk kuliah dia harus jalan kaki sekitar 3 Km, apalagi kalau sore kuliahnya. Ah biar saja, semua akan bermanfaat untuk hidupnya kelak. Aku membiayainya sampai semester 4, karena semester 5 dia menikah, dan tanggung jawab kuliahnya menjaadi tanggung jawab suaminya yang bekerja sebagai mandor bangunan. Akhirnya adikku lulus dengan nilai baik. Memang nasibnya baik, dia bisa bakti di SMP Negeri kemudian diterima sebagai guru kontrak dengan biaya dari Bank Dunia. Setelah 8 tahun bakti, akhirnya diangkat menjadi CPNS di SMP baru yang Kalau naik bus besar kakinya menggantung, artinya tidak bisa menapak di lantai bus kalau dia duduk. Maklum, tubuhnya mungil dan kakinya pendek. Akan tetapi kalau Volly dan menyanyi, luar biasa. Ketika voli servennya bagus sekali, tepat di atas net, dan keras, sulit aku bisa mengembalikan servennya. Pernah kami sekeluarga mewakili RT untuk bertanding bola voli dengan RT yang lain dalam satu desa, kami serumah tinggal enam bersaudara perempuan semua. Adikku Ririn bagian serven, biasanya sampai 8 kali servennya tidak bisa dikembalikan lawan. Dia juga bisa memberikan umpan kepada adikku, Lin yang bisa nyemes dengan baik. Sementara aku sendiri yang sering membuat bola mati berada di lapanganku.
“Mbak Wit lho,mesti mati!” kata adik-adikku. Kalau kakakku paling hanya senyum-senyum ketika bola mati di tanganku. Senang sekali kalau mengingat pengalaman itu.
Kalau dibidang musik bakatnya juga ada, bahkan dia bisa menciptakan sebuah lagu Mars SMP untuk sekolahnya yang baru. Menyanyinya bagus sekali, suaranya bisa melengking dan khas. Dia paling bagus menyanyinya di rumah. Kalau ada kesempatan di hajatan pasti kuminta dia menyanyi.
“Maju dik Ririn!” aku selalu berkata begitu kalau di hajatan ada organ tunggalnya. Dan dia mau menyanyi, walau malu- malu pada awalnya.
Setelah tiga tahun nglaju mengajarnya, akhirnya dia bisa pindah dan memperoleh tempat yang bagus di kotaku. Aku ikut senang, pokoknya kalau adikku sukses, senang, rejekinya lancar, hati ini merasa tenang. Selamat berjuang adikku, warnailah dunia pendidikan kita dengan semangatmu, ceriamu, dan dedikasimu yang tinggi. Walau tubuhmu kecil tapi ada potensi yang luar biasa di dalam tubuhmu. Selamat ya.....
Terimakasih kakaku. Tanpamu aku ga akn jadi seperti ini. Meski kadang keras, tapi aku merasakan ketulusanmu. Kaulah pembentuk jiwaku
Leave a Reply