Pages

Mengenai Saya

Foto saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Menjadi guru adalah salah satu anugerah yang terindah bagi saya, Allah Yang Maha Kuasa memberi kesempatan diri saya untuk belajar dan berkarya. bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Asa ke depan tetap berkarya dan berkarya walau usia semakin senja. Mudah-mudahan Allah meridhoi.Amin

Slide

29/01/11

Wiwit..

Posted by Saptari Dharma Wijayanti on 17.49 0 komentar

WIWIT

Wiwit cilik  aku dieman ibu lan bapakku
Wiwit cilik  aku dikudang-kudang ibu lan bapakku
Wiwit cilik aku disayang banget karo ibu lan bapakku
Wiwit cilik aku  pingin nyenengake penggalihe ibu lan bapakku

            Wiwit anakku keloro lahir  aku kelangan ibu lan bapakku
            Wiwit saiki aku mung nangis menowo eling ibu lan bapakku
            Wiwit saiki aku isone mung tansah ndongakake  ibu lan bapakku
            Wiwit kelangan ibu lan bapakku aku kudu tangi mbenahi masa depanku

WIWIT.... ..
Ibu lan bapakku nimbali aku
Ugo konco-konco  dolanku
Membaca Selanjutnya...


Alin

Posted by Saptari Dharma Wijayanti on 17.45 1 komentar

Alin... Makan dulu!!!”, teriak mama Alin saat melihat bekal makan Alin masih utuh.
“Ya mah... Nanti....”, jawab Alin keras sambil berlari ke rumah Fifin sahabatnya.. Mamanya menggeleng-gelengkan kepala, tanda dia putus asa meminta anaknya untuk makan sesuai waktunya. Mama Alin selalu memasak makanan kesukaan Alin seperti: ayam goreng, gurami goreng, opor daging,  atau udang tepung. Hidangan keempat macam tersebut selalu silih berganti di meja makan Alin.
            Langkah Alin semakin cepat karena ia ingin segera bertemu dengan Fifin sahabatnya.
            “Fifin.... Fifin....”, dengan lantang Alin memangil-manggil di depan pintu rumah Fifin. Rumah yang sangat sederhana terbuat dari bambu, dan tidak terlalu luas. Di dalamnya terdapat dua ruang tidur, satu ruang tamu, dan satu ruang dapur yang bersebelahan dengan ruang kamar mandi yang kecil. Alin hapal sekali ruang dalam rumah Fifin.
            Sepi, tiada jawaban. Ke mana Fifin ya? Pikir Alin. “Ah saya coba lewat pintu belakang”, kata Alin dalam hati sambil melangkahkan kakinya ke arah pintu belakang rumah Fifin.
Dari belakang rumah, Alin mendengar suara tangisan. “Fin, boleh aku masuk?”, tanya Alin keras, seketika itu suara tangisan terhenti.
“Ayo masuk! Tidak dikunci kok...”,  jawab Fifin dari dalam rumah. Alin melangkah pelan memasuki rumah. Alin senang bermain di tempat Fifin. Rumahnya terasa lapang, tidak ada almari tinggi-tinggi yang biasanya berisi macam-macam barang pecah belah yang tidak boleh tersentuh anak kecil sehingga Alin, Fifin, dan adik perempuannya bisa bermain dengan leluasa.
            “Main sunda manda yuk Fin!”, ajak Alin.
            “Boleh, kamu bawa kapurnya kan?”, jawab Fifin. Kemudian Fifin dan Alin menggambar arena sunda manda di atas lantai rumah yang masih asli berupa tanah, sehingga mudah digambar  dengan kapur. Kali ini arena sunda manda berbentuk Jamur. Mereka bertiga mengambil Gatheng masing-masing, tergeletak di lantai  pada ujung ruangan yang tertata rapi.
            “Hom pilahom pimpah!” Suara ketiga anak serempak sambil menggerakkan tangan dan membuka telapak tanggan bersama-sama.
28102009(005).jpg            “Menang!”, kata Alin gembira sementara Fifin dan adiknya pingsut. Namun setelah pingsut. Intan menangis lagi, kali ini sedikit lebih keras.
            “Diam In...” Kata Fifin, sambil menyubit adiknya.
“Kenapa dicubit Fin?”, tanya Alin heran.
“Nggak apa-apa, maaf kamu pulang dulu ya.. nanti sore kamu boleh ke sini lagi.” Jawab Fifin sambil menuntun adiknya ke dapur.
“Yaudah, aku pulang ya Fin.” Kata Alin sambil keluar rumah lewat pintu belakang. Langkah kaki Alin terhenti mendengar adik Fifin menangis sambil berkata, ”Mbak lapar!” Alin mencoba mengintip lewat lubang dinding rumah Fifin yang terbuat dari bambu. Sebenarnya Alin tahu perbuatan mengintip tidak boleh dilakukan, tetapi rasa penasarannya mendorong Alin melakukannya. Alin melihat Fifin membuka tudung saji, ternyata di dalamnya tidak ada apa-apa.
“Nanti sebentar lagi ibu pulang, jangan nangis In... malu sama tetangga”, ujar Fifin sabar mencoba menenangkan adiknya.
“Tapi aku sudah lapar mbak, kemarin sore kan hanya makan singkong, tadi pagi juga!” jawab Intan terisak.
            “Kita ambil pepaya ya! Kita rebus! Mau?” kata Fifin memohon kepada adiknya.
“Mau, tapi nanti makan ya mbak?” Intan merajuk lagi, “Mbak Fifin  nakal. Kenapa tadi mbak Fifin cubit aku?”,
“Mbak Fifin tidak ingin Alin tahu kamu nangis karena lapar, kan malu.”, suara Fifin agak keras sehingga terdengar jelas di telinga Alin. Alin terhenyak, dia mengingat-ingat terakhir kali dia lapar adalah saat bulan romadhon kemarin. Hanya bedanya, kalau puasa makan sahur sedangkan tadi Intan berkata hanya makan singkong sejak sore. Wah pasti lapar sekali... pikir Alin. Dia lebih menyesal lagi ketika dia teringat dia sering membuang makanan yang telah dibuatkan mama untuknya. Alin bergegas pulang ke rumah.
 “Mah... mah...”, teriak Alin memanggil mamanya.
“Ada apa Alin?” tanya mamanya sabar.
“Aku minta makanan!” jawab Alin. “Pakai tepak yang besar ya mah, diisi penuh ya mah...” jelas Alin. Mama Alin mengambil nasi, sayur dan lauk, serta sebutir jeruk. “Dihabiskan ya... jangan dibuang!”, pesan mamanya sambil heran kenapa pakai tepak segala? Banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya.
“Oke mah! Beres...,” Jawab Alin sambil bergegas ke luar. Alin kembali ke rumah Fifin yang letaknya berada di belakang tembok rumahnya. 28102009(005).jpg
“Assalamu’alaikum!”, kali ini Alin mengucapkan salam untuk masuk ke rumah Fifin, tidak seperti biasanya, teriak-teriak memanggil nama Fifin.
“Wa‘alaikumussalam Warakhmatullahhi wa barakatuh..” Jawab Fifin dari dalam rumah.
“Ini aku bawakan makanan.” Kata Alin kepada Intan sambil menyerahkan tepak makanannyanya.
“Tidak usah! Nanti Intan tuman!“ kata Fifin berharap.
“Nggak apa-apa Fin, saya tidak ingin intan menangis.”, jawab Alin. ”Kamu juga makan Fin, cukup untuk berdua kok Fin!”, lanjut Alin, “Aku pulang ya...” kata Alin tanpa menunggu jawaban Fifin. “Assalamu’alaikum” lanjut Alin riang.
“Wa’alaikumsallam”, jawab Fifin keras. Dia tertegun, kenapa Alin tahu?  Tapi pikiran itu dihentikannya karena Fifin ingin adiknya segera makan nasi seperti harapannya.
“Mah... Alin makan mah!”, mamanya heran Alin minta makan lagi, dan tidak membawa tepak makanannya. Tetapi mamanya diam saja, kemudian mengajak Alin untuk mengambil nasi, sayur dan lauk sendiri di meja makan. Mama Alin memutuskan untuk membiarkan Alin menyantap habis makanannya. Tumben pikirnya. Nasi, sayur dan lauk yang diambil Alin kali ini habis disantapnya. Bersih tanpa sisa. Mamanya kembali heran, tidak seperti biasanya Alin seperti ini, makan dengan lahap dan tuntas.
Alin sendiri berjanji dalam hati, mulai hari ini dia akan selalu makan apa yang telah dimasak mamanya dan akan menghabiskan makanan yang diambil dengan tangannya sendiri. Alin tidak akan mengulang lagi kebiasaan makannya selama ini, mau makan asal lauknya sesuai seleranya, mengambil banyak makanan, namun tidak pernah menghabiskannya. Alin menyadari dirinya kurang bersyukur kepada Allah yang telah melimpahkan makanan yang melimpah untuknya.
“Mah... boleh Alin minta makanan seperti tadi untuk beberapa hari ini?” tanya Alin kepada mamanya.
“Itu yang mau mama tanyakan. Tadi mama sudah beri kamu makan, kenapa sekarang makan lagi?” sahut mamanya.
28102009(005).jpg“Ayah Fifin sudah seminggu tidak pulang, dan ibunya hanya buruh gendong ubi kayu ma. Tadi Intan menangis karena lapar. Kasihan kan? Alin berjanji akan makan dengan teratur dan selalu habis asal mama berikan makanan untuk Fifin dan Intan. Oke?”, kata Alin beruntun.
“Boleh, boleh sekali!” jawab mamanya haru. Mama Alin bersyukur karena Alin memiliki jiwa sosial dan dapat mengambil pelajaran dari nasib temannya.
*****
Membaca Selanjutnya...